Arsip Blog
Sabtu, 25 Oktober 2008
Dari Simbol Keagamaan Menjadi Alat Politik
Istanbul - Dengan terpilihnya Abdullah Gül sebagai Presiden Turki, perdebatan tentang jilbab sekali lagi muncul ke permukaan. Walaupun larangan pemakaian jilbab di tempat-tempat umum diberlakukan pada 1998, diskusi tak pernah berhenti, bahkan telah memperoleh momentum baru dengan kemungkinan Ibu Negara yang menutup kepalanya. Namun, pembaruan perhatian tersebut tidak lantas berarti menimbulkan pandangan-pandangan baru. Karena itu, perdebatan jilbab di Turki tidak hanya marak tetapi juga buntu.
Turki bukanlah satu-satunya negara tempat isu jilbab atau kerudung hanya berjalan di tempat. Beberapa minggu lalu, sebuah surat kabar melaporkan bahwa seorang guru Muslim Jerman ingin mengenakan kerudungnya dengan 'gaya Grace Kelly' ketika mengajar. Ini berarti mengenakan kerudung dengan memperlihatkan rambut di bagian depan. Pengadilan memutuskan bahwa adegan Grace Kelly dari film tersebut tidak ada hubungannya dengan alasan-alasan keagamaannya untuk mengenakan kerudung, dan karenanya tidak memperbolehkannya mengenakan kerudung.
Baik secara hukum maupun agama, usulannya perlu dipertanyakan. Tujuan pemakaian jilbab adalah menutupi rambut sebagai upaya untuk menutupi bagian-bagian tubuh perempuan yang memiliki arti penting secara seksual, atau yang menampilkan 'perhiasan' mereka seperti yang dinyatakan dalam Al Qur'an (Surah 24:31). Al Qur'an tidak secara terang-terangan memberi keterangan bahwa rambut harus tertutup seluruhnya. Tetapi melalui penafsiran Al Qur'an secara keilmuan, hadis (tradisi sikap dan perilaku Nabi Muhamad) dan fiqih (hukum Islam) yang berkembang dalam masyarakat Muslim selama bertahun-tahun, ayat tersebut ditafsirkan seperti itu.
Orang-orang yang berpikiran sekuler cenderung berpendapat bahwa jilbab seharusnya dilarang karena hal tersebut merupakan perlambang tekanan terhadap perempuan. Mereka percaya bahwa para perempuan yang mengenakan hijab, niqab atau burqa dipaksa melakukan hal tersebut oleh para suami mereka atau norma-norma kemasyarakatan untuk mencegah mereka terlalu berlebihan menampilkan sensualitas feminin mereka.
Menurut para sekularis, kaum perempuan seharusnya diperbolehkan mengenakan apa yang mereka inginkan dan mengekspresikan diri mereka dengan bebas. Tetapi bagaimana dengan para perempuan yang mengenakan jilbab karena kehendak hatinya? Dan bagaimana dengan mereka yang menggabungkan antara ekspresi pribadi dan tradisi keagamaan dengan mengenakan jilbab?
Istri dari presiden baru Turki, misalnya, menunjukkan bahwa itu semua dapat berjalan beriringan dengan sempurna. Setelah perdebatan yang panas tentang apakah istri dari pemimpin simbolis sebuah negara sekuler seharusnya mengenakan jilbab di depan umum, sebuah kompromi diajukan: istri Gül akan mengenakan jilbab yang trendi dan 'baru' yang dirancang oleh kawan pribadi dan perancang busana dari New York.
Sesungguhnya, ini bukanlah ide baru. Di jalanan Istanbul, orang dapat melihat jilbab yang penuh gaya di mana-mana. Banyak perempuan berkerudung yang mengenakan selendang dengan warna-warna cerah dengan cara yang jelas tidak akan menjengkelkan Versace. Seperti layaknya perempuan lain mereka hanya mencoba tampil secantik yang mereka bisa, dan kerudung mereka jelas tidak merusak usaha-usaha itu.
Tetapi tentu saja, banyak yang mengatakan pemakaian jilbab seperti itu merupakan kemunafikan. Sebuah alat yang secara tradisional dipakai untuk tidak menjadikan perempuan sebagai obyek seksual, sekarang telah menjadi bagian dari daya tarik mereka. Sekali lagi, orang menemukan sesuatu yang perlu dipertanyakan dalam pakaian mereka.
Sayangnya, kaum perempuan kelihatannya tidak bisa menang. Apakah mereka memakai – atau tidak memakai – jilbab, seluruh diskusi berakhir pada jalan buntu.
Kenyatannya, ini bukanlah sebuah diskusi. Ini adalah perangkap, dirancang oleh kaum laki-laki untuk menjebak laki-laki lain. Dan umpannya adalah perempuan.
Para laki-laki sekuler mengatakan: "Cara Anda memaksa penampilan kaum perempuan Anda merupakan hal yang opresif dan tidak dapat ditoleransi." Para laki-laki beragama berkata: "Cara Anda melarang kaum perempuan kami berpenampilan tidak demokratis dan tidak dapat ditoleransi." Namun satu-satunya hal yang tidak dapat ditoleransi adalah bahwa kedua pihak menggunakan kaum perempuan sebagai bola ping-pong dalam perdebatan tersebut.
Kedua pihak menggunakan lambang tersebut dengan beragam tujuan bagi kepentingan-kepentingan pribadi dan politik. Jilbab, yang dapat dikenakan karena berbagai alasan berbeda, bukanlah permasalahannya sendiri. Tetapi bersikap seolah-olah jilbab memiliki makna tunggallah yang menjadi masalahnya. Hanya dengan demikian muncul perdebatan antara memaksa perempuan mengenakannya atau menentangnya.
Masalah paling serius bukanlah pengangkatan makna jilbab sebagai alat politik. Melakukan hal yang sama terhadap para perempuan yang mengenakannya lebih buruk lagi. Tidak penting apakah orang menggunakannya sebagai "obyek seksual", "obyek relijius" atau "obyek politik", manusia tidak seharusnya dilihat sebagai obyek dalam diskusi apapun.
Agama Islam mulai dikenal di Kerajaan Kutai Kartanegara pada awal abad ke-16 dan berkembang pada awal abad ke-17, yakni pada masa pemerintahan Sultan Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa (sekitar tahun 1635). Hal ini terbukti dengan adanya Undang Undang Dasar Kerajaan yang disebut Panji Selaten dan Kitab Peraturan yang disebut Undang Undang Beraja Nanti yang jelas bersumber kepada hukum Islam. Sejak itulah agama Islam berkembang dengan sangat pesat hingga saat ini.
Agama Kristen menempati kedudukan nomor dua dalam hal banyaknya penganut dan intensifnya penyebaran agama. Mula-mula penyiaran agama ini dilakukan para penginjil dari Jerman dan Swiss. Badan yang mengirimkan perutusan Injil dari Jerman adalah Rheinische Mission Gessellschaft zu Barmen (1863-1925) setelah itu dilanjutkan oleh Evangelische Gessellschaft zu Basel dari Swiss. Kemudian banyak lagi badan-badan Kristen dan Katholik yang melakukan kegiatan-kegiatan penginjilan di wilayah Kutai. Para pengikut agama Kristen dan Katholik sebagian besar adalah dari suku Dayak.
Selain agama yang disebut diatas, sampai saat ini masih ada sebagian penduduk yang menganut kepercayaan asli setempat, mereka terutama adalah kelompok suku Dayak yang masih sedikit mendapat pengaruh dari luar. Kepercayaan asli berpusat pada penyembahan roh-roh lain (animisme) serta percaya pada kekuatan yang tersembunyi dibalik benda-benda alam (dinamisme). Penganut kepercayaan ini memiliki berbagai macam upacara baik yang berhubungan dengan siklus hidup dan kehidupan manusia (kelahiran, kematian, perkawinan, sakit, dsb) dan upacara yang berkaitan dengan siklus pertanian. Dalam menyelenggarakan upacara-upacara ini, masing-masing suku memiliki variasinya sendiri-sendiri.
Dua Aliran Keagamaan Baru Muncul di Palu
pengumpulan informasi awal untuk dijadikan dasar berkoordinasi dengan
pimpinan organisasi keagamaan yang berhubungan dengan kedua aliran baru
tersebut.
Sumantrie, yang juga Ketua Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat
(Pakem) Palu, menolak menyebutkan nama kedua aliran baru yang
berkembang tersebut.
Namun, ia menjelaskan, pengikut kedua aliran itu kurang dari 100 orang,
dan merupakan sekte dari salah satu agama yang dianut penduduk setempat.
"Yang jelas bukan kelompok yang belakangan ini menyedot perhatian
masyarakat, seperti Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Ahmadiyah, aliran Pasti
(kelompok zikir), atau agama Baha`i," katanya.
Sumantrie tidak mau gegabah menetapkan aliran baru tersebut sesat, karena menurut dia, penilaiannya harus melalui prosedur.
Selain itu, katanya, pihak kejaksaan lebih mengedepankan tindakan
preventif agar pengikut aliran baru tersebut dapat kembali ke keyakinan
sebelumnya atau induk agama dari sekte yang dianut.
Prosedur dimaksud, menurut dia, perlu melakukan penelitian awal,
melakukan rapat paripurna internal Pakem, mengundang pimpinan ormas
keagamaan terkait, mengundang pimpinan sekte/aliran, meminta izin
pelarangan dari Kejaksaan Agung, selanjutnya keputusan pelarangan
tersebut diserahkan kepada polisi untuk mengambil tindakan.
"Tapi yang terpenting bagi kami yaitu melakukan pendekatan terlibih
dahulu, sebab berdasarkan anlisa ditengarai maraknya aliran baru
menjadi sasaran memecah belah bangsa," kata dia.
Setelah vakum sekitar 10 tahun sejak 1998, Pakem Palu kini kembali
aktifkan melakukan kegiatan setelah melakukan rapat koordinasi dengan
instansi terkait, seperti polisi, TNI, Pemerintah Daerah setempat,
serta organisasi sosial-keagamaan.
Sumantrie mengatakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan, dalam Pasal 30 Ayat (3) disebutkan bahwa kejaksaan
sebagai koodinator dalam mengawasi kegiatan sekte keagamaan atau aliran
kepercayaan sesuai tingkatannya.
"Olehnya saya berharap masyarakat, khususnya pers dapat memberikan
informasi aliran baru yang muncul di tengah masyarakat," katanya.
Sumatrie mengakui penindakan terhadap aliran baru yang dinyatakan sesat
acapkali berbenturan dengan kelompok pejuang Hak Azasi Manusia. Karena
itu, Pakem khususnya kejaksaan mengedepankan prosedur hukum dalam